Selasa, 28 Juli 2009

Saya Tidak Bisa Melukis Ibu..

Melukis adalah satu hal yang belum pernah sukses dalam hidup saya (di samping beli mobil, beli rumah, buka studio, buka sekolah, buka salon, buka butik, buka pusat kebugaran, buka warung makan dan buka-buka yang lain).

Hal ini membuat lamunan saya bergerak mundur ke masa yang telah lalu. Dimulai dari dinding rumah orang tua yang relatif bersih dari coretan-coretan sudah menjadi petunjuk awal. Kemudian tiap saya pergi ke toko buku bersama ibu, saya akan memilih buku gamba yang paling kecil dengan pemikiran supaya tidak terlalu lebar area yang dilukis.

maklumlah, jaman tahun 1986, ketika saya masuk sekolah dasar, di sekolah saya tidak ada ekstrakurikuler menggambar. di samping tenaga pengajar kurang, umumnya para orang tua dari teman-teman saya lebih suka anaknya lekas pulang selepas sekolah untuk menggembalakan sapi, kambing, menumbuk padi / gaplek dsb (waduh...kelihatan deh dari desa hehehe).oleh sebab itu di sekolah saya ekstrakurikuler kebanyakan bersifat dadakan untuk mengikuti lomba, perayaan ataupun penyambutan pejabat agung yang jarang datang.dan kegiatannya lombanya tak jauh dari kasti, lari, volley, tonti, pramuka, dan menyanyi.tidak ada lomba menggambar.

Lalu ketika memasuki SMP, saya ngotot ingin masuk SMP di kabupaten dengan resiko indekost. Ayah dan Ibu saya gembira sekali bahwasanya putrinya ingin belajar mandiri, sisi lain saya merasa lega diijinkan dengan pemikiran saya bisa lepas dari omelan ortu (saat menulis di bagian ini saya sangat merasa berdosa apalagi ketika sadar bahwa omelam-omelan tersebut adalah merupakan nasehat-nasehat jitu).

setali tiga uang, SMP tempat saya menuntut ilmu pun hanya sanggup memfasilitasi ekstrakurikuler olahraga, pramuka dan KIR (seingat saya). maka dari pada itu lagi-lagi saya membeli buku gambar dengan ukuran paling kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar