Kamis, 30 Juli 2009

Oleh-oleh Dari Unforgetable Keroncong By Light Keroncong Orkestra

Selembar tiket untuk menonton konser teronggok di meja kantor. Seorang kawan mengirimkannya untuk saya, karena dia tahu saya hobi nonton musik yang tidak biasa. Menimbang, mengingat dan memutuskan, karena yang mengundang adalah salah seorang kawan baik, ya bagaimanapun caranya harus diusahakan datang walaupun hanya menonton sepuluh menit. Tapi saya salah menduga, akhirnya saya teronggok di kursi hingga menit demi menit usai melantunkan tembang-tembang keroncong yang dibawakan secara kolaboratif antara instrumen cuk, cak, gitar, bass, biola dan flute dengan seperangkat instrumen orkes lengkap terdiri dari string section, tiup logam (trumpet, trombone dan horn), tiup kayu (flute, oboe, clarinet dan saxophone), perkusi (drumset, timpani, chimes dsb), piano dan dibalut dengan aransemen cantik oleh sang music director, Singgih Sanjaya, seorang Dosen, Arranger dan Composer yang cukup berpengaruh di atmosfer seniman Yogyakarta.

Jangan bayangkan suasana konser yang formal, bertele-tele dan membikin ngantuk (apalagi keroncong identik untuk musik pengantar saat bersantai menjelang tidur). Acara dimulai pukul 19.50, dan dibuka oleh MC dengan kocak. Ada beberapa kesalahan protokol acara namun mampu dimanfaatkan dengan manis dan membikin gerr penonton. Saya tidak tahu apakah ini disengaja atau memang kesalahan semata. Jikalau disengaja, maka saya angkat jempol untuk aktingnya yang sangat natural, dan jikalaupun tidak disengaja, maka tetap angkat jempol untuk kelihaian sang MC membikin kesalahan-kesalahan tersebut menjadi humor segar yang cukup menghibur penonton yang sudah menunggu dengan sabar sejak pukul 19.00

Setelah sambutan singkat dari kepala dinas pariwisata, konser dibuka dengan Langgam Bengawan Solo. Lagu ciptaan Gesang yang menjadi ikon keroncong dan telah mendunia ini, dinyanyikan dengan mulus oleh mbak Anik Trisnawati, penyanyi serba bisa yang meraih juara 2 BIntang Radio pada tahun 2008. Dalam lagu ini Singgih Sanjaya menambahkan warna baru dalam aransemennya. Arranger bermain-main dengan beat-beat jazz yang nakal pada beberapa frase lagu, mampu memberikan kejutan-kejutan yang berarti dari lagu yang mempunyai karakter lembut mendayu tersebut.

Berikutnya tembang Bandar Jakarta yang merupakan jenis keroncong asli dan dibawakan dengan gaya pop oleh Brian Prasetyoadi ( juara Bintang Radio Nasional 2008). Jika anda tak sempat melihat, maka bayangkanlah suaranya selezat secangkir cokelat hangat. Kemudian berturut-turut penampilan Ferianto, Juara Bintang Radio Nasional 2006 dalam Keroncong Nusantara, dimana pada nomor ini LKO berkolaborasi dengan Himpunan Artis dan Musisi Keroncong Indonesia (HAMKRI) dan penampilan Langgam Rangkaian Melati, dibawakan secara instrumental dengan Tenor Saxophone oleh sang Conductor, Singgih Sanjaya. Mak nyess rasanya. Repertoar selanjutnya,sang Ratu Kembang Kacong, Ibu Hj. Waldjinah muncul menyanyikan Keroncong Moritsko. Kemudian sesi pertama diakhiri dengan Heal The World, dinyanyikan oleh PSM UGM dengan iringan Keroncong.

Ada yang unik pada penampilan sesi kedua, yaitu pada repertoar Clarinet Concerto With Keroncong Music dan Orchestra yang dibawakan oleh pemain klarinet Indonesia bertaraf world class, Nino Wijaya. Jika anda terbiasa mendengarkan concerto-concerto musik klasik, maka bayangkan saja musik-musik tersebut diiringi dengan irama keroncong. Gagasan ini muncul di benak sang komposer, Singgih Sanjaya dari melihat repertoar musik keroncong yang hampir semuanya diperuntukkan untuk vokal. Hanya lagu Jali-jali yang dikenal bisa dimainkan secara instrumental, penulis pernah melihat lagu tersebut dibawakan oleh violis Didit semasa dia masih berumur 7 th (semoga tidak salah).

Repertoar berikutnya adalah Keroncong Sepercik Nyala Api, dibawakan oleh Anik Trisnawati berkolaborasi dengan HAMKRI. Disusul kemudian dengan Stambul Baju Biru ciptaan Hardiman, dibawakan oleh Ferianto dan lagu Terimakasih Cinta yang dipopulerkan penyanyi Afghan, kali ini jelas dibawakan dengan iringan keroncong oleh Brian Prasetyoadi.

Dua repertoar berikutnya merupakan repertoar terakhir yaitu Ayo Ngguyu oleh si Walangkekek, Ibu Waldjinah. Di lagu ini, dengan gayanya yang kenes, nenek yang masih cantik di usia senja tersebut mampu menghidupkan suasana dengan ajakan kepada penonton untuk tertawa, sesuai dengan judul lagu yang beliau bawakan. Kontan saja, penonton tertawa setiap Ibu Waldjinah melafalkan kalimat "Ayo Ngguyu". Kemudian nomor Tembang Nusantara yang merupakan lagu-lagu daerah Nusantara antara lain Selayang Pandang (Melayu), Cing Cangkeling (Sunda), Tanduk Majeng (Madura), Ampar-ampar Pisang (Kalimantan), Ati Raja (Makassar), Janger (Bali), Goro-gorone (Maluku) dan Sajojo (Papua) dibawakan secara Medley oleh PSM UGM menjadi nomor penutup pada konser tersebut.

Kesan yang tertangkap dan kemudian diakui saat wawancara, bahwa dalam konser tersebut Singgih Sanjaya ingin membuka pola pikir penonton bahwa musik keroncong bisa dinikmati tanpa batasan umur tua dan muda serta dapat dikemas dalam berbagai kemasan variatif. Hal tersebut dapat terbaca dari penampil-penampil yang mewakili tiga dekade. Waldjinah sebagai kalangan senior, Anik dan Ferianto dari kalangan dewasa lalu Brian dan PSM UGM yang mewakili kawula muda yang gaul dan dinamis. Singgih juga membuka kacamata kita, bahwa dengan kreatifitas dalam pembuatan aransemen baru (dan Singgih Sanjaya telah melakukannya pada seluruh repertoar), kemasan yang menarik, musik keroncong pun punya nilai jual, meski diakui masih butuh perjuangan panjang untuk mencapai hal itu. Namun Singgih menegaskan bahwa dirinya hanya berkarya-dan berkarya tanpa memperdulikan sejauh mana pasar akan merespon. Wow..

Bagi penulis, acara tersebut menambah pemahaman penulis mengenai jenis-jenis musik keroncong. Dari segi musikal, jelas sekali aransemen Singgih Sanjaya diseluruh repertoar memberikan warna dan sensasi baru. Keroncong beradu dengan patern-patern Jazz, Blues, Concerto dan Pop menjadikan penulis penonton yang memenuhi ruangan tetap di tempat hingga acara usai.

Terlepas dari kesuksesan acara semalam, tetap ada beberapa hal yang harus dibenahi. Yaitu mulai munculnya calo-calo tiket yang sangat merugikan penonton dengan trik berbohong mengatakan tiket box telah habis (entah kapan hal ini bisa diatasi....oh Indonesiaku..). Acara sempat molor hingga 20 menit dari jadwal yang dijanjikan (lagi-lagi di Indonesia). Penonton sempat berdesakan ketika pintu dibuka karena harus giliran menyobek karcis dan mendapat buklet urutan acara. Mungkin untuk acara berikutnya perlu lebih diatur yang lebih humanis lagi.

Namun terlepas dari kurang dan lebihnya, acara tersebut perlu untuk dilestarikan. Sehingga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam musik keroncong bisa ditularkan kepada generasi muda yang diharapkan akan lebih banyak generasi muda yang memiliki kearifan budaya lokal sebagai identitas, filosofi dan jati diri. Bukan sekedar formalitas belaka. Dan bangsa ini akan semakin besar sesuai dengani semboyan "Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Mencintai dan Menjunjung Tinggi Kebudayaannya Sendiri".

Salam Musik....Salam Keroncong...Jaya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar